Blog ini berisi komentar-komentar mengenai film-film yang telah Saya tonton, yang pastinya akan berguna bagi Anda sebagai referensi untuk menonton film, ataupun setidaknya dapat berguna sebagai tempat Anda untuk mengisi waktu luang dengan hal yang berguna, sekaligus sebagai tempat Kita bertukar pikiran mengenai film. I'm not a critic. I'm just a big fan.
Siapa yang tahu tentang Karni Ilyas?
Maksud saya, siapakah orang ini?
Sebagai penonton TV veteran, yang
semenjak muda (sekarang juga masih muda) telah menonton Televisi Indonesia,
saya tidak pernah melihat ataupun mendengar tentang Karni Ilyas. Sekali lagi,
saya adalah penikmat televisi (yang mungkin akan beranjak menjadi Pengamat
Pertelevisian –wow-) melebihi media-media lainnya seperti koran dan radio. Setahu
saya, Bapak Karni Ilyas tidak pernah dikenal sedemikian luas sebelum seperti
saat ini.
Seperti kita ketahui, umur
pertelevisian swasta di Indonesia masih muda. Masih menginjak usia 20 tahun-an,
diukur dari kemunculan TV swasta pertama kali di tahun 1989/1990. Hal ini jauh
bila dibandingkan dengan umur Karni Ilyas yang sudah tidak muda lagi, alias
sudah sangat matang. Berapakah umurnya? Saya tidak tahu pasti. Tetapi, mari
kita lihat penampilan fisiknya; rambut di cat putih (lebih mirip uban), cara
berjalan tidak lagi cepat (sepertinya perlu bantuan skateboard), jika berbicara
kadang-kadang terbata-bata (ini ciri khasnya). Menurut anda, beliau berumur
berapa? Yah, saya rasa di awal 60-an tahun.
Bagaimana cara kita mengenal
Karni Ilyas lebih jauh? Kalau saya pribadi, saya tidak punya minat untuk
mencari di google. Saya mengetahui dan menyukai Pak Karni dikarenakan saya
sangat menikmati sebuah program talkshow yang dibawakannya: Indonesia Lawyers
Club. Jakarta Lawyers Club, yang sekarang telah berganti nama menjadi Indonesia Lawyers Club adalah talkshow berbau politik dan sosial
kemasyarakatan yang selalu menghadirkannarasumber-narasumber terkait masalah yang dibahas. Saat ini, Indonesia
Lawyers Club adalah program TV panjang terfavorit saya. Kenapa saya menyukai
program ini? Berikut alasan-alasannya:
1.This
a straight social-politic talkshow...
Maksud saya, coba
lihat setting tempatnya. Bukan diadakan di studio, tetapi diadakan di room
sebuah hotel; dan di sana terdapat banyak meja bundar yang dihiasi dengan ciri
khas hotel tentunya, yang di masing-masing meja terdapat kumpulan audien/undangan yang
disuguhkan minuman ringan berwarna putih. Dan ketika kita melihat di televisi,
sepertinya acara ini dikhususkan untuk para orang tua atau bapak-bapak saja.
Tetapi sesungguhnya acara ini bukanlah acara berat yang butuh pemikiran berat;
hanya sedikit lebih berat daripada acara-acara TV pada umumnya, dan butuh
sedikit lebih banyak MINAT untuk menontonnya.
2.This
is some form of democracy manifestation...
Indonesia Lawyers
Club adalah sebuah debat terbuka. Di sini terdapat per-adu-an argument dan
pengungkapan sindiran-sindiran tajam terhadap lawan bicara, bahkan tuduhan
langsung pun dapat di unggkapkan. Di luar itu semua, acara ini dirancang untuk
memberikan kesempatan bagi masing-masing narasumber untuk mengungkapkan
keterangannya secara bergantian maupun cross-over (ber-silang pendapat). Dan
sebagai host, Karni Ilyas mampu memimpin secara demokratis.
3.Acara
ini sering mengundang Ruhut Sitompul,
dan orang-orang
unik lainnya. Maksud saya, anda tidak akan bosan. Jika bosan, silakan tonton
sinetron di televisi sebelah, atau bayangkan saja sebuah lampu disko bundar
muncul di tengah-tengah para tamu undangan sehingga mereka berjoget ria,
sehingga acara ini dinamakan Indonesia Lawyers Clubbing.
Baik, kemarin, Selasa 27 Maret 2012,
Indonesia Lawyers Club absen tayang. Setelah saya berpindah channel ke RCTI, dalam The Panasonic Award ke-15 Indonesia Lawyers Club masuk dalam nominasi
Program Talkshow Berita dan Informasi Terfavorit. Sayangnya, nominasi ini
dimenangkan oleh acara lain. Tetapi tidak apa-apa, karena prestasi tidak melulu
ditentukan oleh banyaknya apresiasi.
Lalu bagaimana dengan Karni
Ilyas? Ternyata saya jadi tahu lebih banyak tentang beliau. Beliau
sedang tersenyum lebar di sebuah kursi bersebelahan dengan sang istri dan
seorang politisi. Saya rasa ini menjadi simbol bahwa beliau tidak dapat
memisahkan antar pekerjaan dan keluarga karena keduanya adalah hal penting bagi
beliau. Ini masuk akal karena dalam The Panasonic Award kemarin, Karni Ilyas
mendapatkan Lifetime Achivement Award!
Sukarni Ilyas telah berkarya di
jurnalistik sejak umur belasan. Beliau pernah berada di redaksi koran dan
majalah, serta di belakang layar di beberapa TV swasta sebelum TVOne.
CONGRATULATION. A natural born journalist
seperti anda sangat pantas mendapatkan penghargaan tersebut, Pak Karni. Seharusnya
anda goes pop sejak lama, Mr. Karni. Tapi tidak, mungkin karena anda adalah a
real journalist. Atau memang inilah saatnya?
Beberapa hari
yang lalu saya berhasil menciptakan sebuah film. Yah…secara teknis, saya memang
sutradaranya. Pengarang ceritanya juga saya. Namun saya belum yakin ada yang
mau memproduserinya.
Tetapi, terlebih
dahulu, ada satu informasi aneh yang harus saya beritahu, dan saya harap, anda
bisa mempercayai saya.
Ya, saya
benar-benar membuat sebuah film. SAYA MEMBUAT FILM DI DALAM MIMPI SAYA.
Yes, this is
real. And that was real, ketika pada malam itu saya tertidur pada sekitar jam
10.30, dan kemudian terbangun pada sekitar 12.30 dini hari, saya secara tak
sengaja (atau mungkin disengaja –saya kurang tahu pasti-) memimpikan sebuah
skenario film yang bergulir terus pada saat saya tidur selama sekitar 2 jam
tersebut! Saya tidak tahu ini apa. Saya belum pernah memimpikan sebuah film
sebelumnya.
TENTU SAJA saya
pernah bermimpi hal lain sebelumnya. Dan seperti yang kita ketahui, mimpi pun
mempunyai seting tempat, tokoh-tokoh, jangka waktu, bahkan dialog, yang
seperti sebuah film punyai. Tetapi itu bukan film. Mimpi saya kali ini, saya
benar-benar tahu bahwa ini adalah sebuah film…
Memang tidak ada
dialog detail ataupun urutan scene yang terarah, dan seperti biasa, kita pasti
tidak bisa mengingat mimpi kita secara 100%, bukan? Tetapi saya akan mencoba
mengingat dan membuatkan rancangannya…….ataupun sinopsisnya (saya tak mungkin
merancang naskah film secara detail di blog ini, kan). So, check it out.
JUDUL: "Sang
Penjual Buku"
>> Dari
judulnya sudah jelas bahwa ini kisah tentang seorang penjual buku. Awalnya saya
mau memberi judul “Martir” atau “Martyrs” dalam bahasa Inggris -karena film ini
mengusung isu tentang bunuh diri yang berlandaskan agama-, namun saya enggan
meniru judul horor Prancis yang berjudul sama.
JENIS :
Psychology Thriller
>> Triller
psikologis adalah genre yang jarang ada di perfilman Indonesia. Tidak ada
horor di film saya ini. Yang ada hanyalah percakapan. Dengan setting di dua
atau tiga tempat, film ini sudah dapat di buat. Dalam mimpi saya, film ini
ber-setting utama di sebuah mesjid. Bisa jadi ada tambahan tempat dengan
beberapa flashback scene ditambah opening dan closing scene. Dalam pikiran
saya, film ini bernuansa tenang dan redup, seperti yang dibawakan oleh Hanung
Bramantyo dalam "Ayat-Ayat Cinta" (2008) dan "Doa Yang Mengancam" (2008). Tapi tolong hilangkan
muka Aming dari pikiran anda.
SINOPSIS SINGKAT : Seorang pria (saya belum
memperkirakan namanya siapa) dan anak laki-lakinya (kemungkinan bernama Nurdin)
berkunjung ke sebuah mesjid bermaksud untuk menjual buku-buku religi kepada
orang-orang di mesjid. Sebagai muslim yang baik, mereka melakukan kewajiban
agamanya terlebih dahulu di mesjid tersebut. Setelah itu baru mereka mulai
menjual buku dan menjalankan rencana mereka.
>> Memang simpel. Pemeran utamanya hanya 2
orang ditambah beberapa pemeran pembantu.
PLOT : Pertama,
sang pria dan sang anak akan beribadah dengan khusyuk , kemudian sang pria akan
banyak berdebat dengan orang-orang di mesjid, baik mengenai penafsiran agama,
sosiologi, politik. Beberapa orang akan mulai curiga terhadap mereka berdua.
Dalam keadaan terdesak, pria tersebut menjadi temperamental, keadaan mulai
sedikit kacau, dan ia mulai berpikir keras untuk menjalankan rencana mereka
untuk meledakkan mesjid tersebut.
>> Plot di atas tidak bertema terorisme. Ini hanya percakapan beberapa orang di mesjid. Akan ada persinggungan kepentingan dengan sang anak. Dan akan ada dialog keren seperti ini: "INGAT! Saya tidak perlu kau untuk membeli bukuku. Saya tidak perlu uangmu! I'm not that kind of moslem!"
PEMERAN UTAMA : Anang Hermansyah memerankan sang
ayah dan "Si Entong" memerankan sang anak.
>> Lukman
Sardi sudah pernah menjadi Kyai, jadi sekarang dia tidak mungkin memerankan
teroris. Pria berwajah standar lainnya, Reza Rahardian, sudah terlalu sering
tampil, jadi saya bosan. Anang Hermansyah, hmm saya tahu dia seorang penyanyi,
tapi saya tak dapat menemukan pria berwajah standar lainnya yang cukup akrab di
mata masyarakat; kalau dia bersedia berhenti menyanyi dan bersedia belajar
acting bersama saya (sang maestro), saya rasa dia mampu. Pemeran "Si Entong" (saya tidak
tau nama aslinya; bahkan saya tidak peduli) mempunyai wajah ordinary teenager
sekali, jadi dia cocok.
KESIMPULAN : This could be fun.
Naskahnya harus digarap dengan sangat serius karena isu agamanya sangat kental.
Sekali lagi, ini tidak bertema terrorism (karena sudah sangat
membosankan). Jadi, trailernya harus berisi potongan-potongan dialog yang bagus
saja.
27 Februari 2012 yang lalu, saya dan pacar saya pergi untuk menonton film di bioskop. “THE GREY”, itu judul filmnya. Satu-satunya alasan saya ingin menonton film ini adalah: Liam Neeson, sang aktor utama. Saya suka suaranya. Really. Dalam, intimidating, dan cocok jika mengisi suara dewa/tuhan. Selain itu, walaupun termasuk “telat merekah”, Liam Neeson jarang bermain dalam film jelek, menurut saya. Oleh karena itu, saya pikir, tak masalah jika saat ini saya pilih film ini sebagai tontonan (pacar saya, dia saya larang untuk protes...).
Oke, kami tonton, tonton dan tonton. Adegan awalnya bagus; mencoba untuk puitis dan sedikit romantis. Yang pualing saya suka adalah Adegan Kecelakaan Pesawat. Sangat bagus kalau menurut saya. Adegan yang tidak lama ini terasa rill, berbeda, punya gaya oke, SALUT. Terus cerita bergulir, bergulir dan bergulir, lalu “kenapa dialognya terasa aneh?” pikir saya. Nah, menurut saya dialog di “The Grey” (secara keseluruhan) masih terasa klise, bisa dikatakan cenderung membosankan. Gambarnya atau scene-scenenya sendiri bisa dikatakan bagus karena menangkap gambar yang memang “grey”;dari salju, hutan, serigala, bahkan kita mendapat kesan bahwa kematian itu sendiri adalah berwarna grey atau abu-abu. Yang paling merusak suasana adalah munculnya gambar mantan kekasih si tokoh utama yang selalu berbisik “don’t be afraid…” BERKALI-KALI. Entah apa maksudnya...
Well, ternyata, di kredit akhir saya jadi tahu bahwa sutradara film ini adalah JOE CARNAHAN, yang setahu saya adalah spesialis action kasar; dan lagi, Liam Neeson dan Joe Carnahan pernah berkolaborasi secara baik di “A-Team (2010)” kemarin. Maka sebagai film uji coba, “The Grey” saya rasa termasuk bagus walaupun dialognya masih perlu dibenahi.
Hmm…jadi apakah dialog merupakan pemegang peran terpenting dalam sebuah film?? Tanyakan itu pada film “The Artist”. “The Artist” menang banyak di Academy Award dan Golden Globe. Salut, karena berdekade-dekade ke belakang, baru film ini lah yang berani merayakan awal mula kemunculan dan kesuksesan sinema awal (yang adalah bisu dan hitam-putih).