Rabu, 28 Maret 2012

KARNI ILYAS GOES POP?


Siapa yang tahu tentang Karni Ilyas? Maksud saya, siapakah orang ini?

Sebagai penonton TV veteran, yang semenjak muda (sekarang juga masih muda) telah menonton Televisi Indonesia, saya tidak pernah melihat ataupun mendengar tentang Karni Ilyas. Sekali lagi, saya adalah penikmat televisi (yang mungkin akan beranjak menjadi Pengamat Pertelevisian –wow-) melebihi media-media lainnya seperti koran dan radio. Setahu saya, Bapak Karni Ilyas tidak pernah dikenal sedemikian luas sebelum seperti saat ini.

Seperti kita ketahui, umur pertelevisian swasta di Indonesia masih muda. Masih menginjak usia 20 tahun-an, diukur dari kemunculan TV swasta pertama kali di tahun 1989/1990. Hal ini jauh bila dibandingkan dengan umur Karni Ilyas yang sudah tidak muda lagi, alias sudah sangat matang. Berapakah umurnya? Saya tidak tahu pasti. Tetapi, mari kita lihat penampilan fisiknya; rambut di cat putih (lebih mirip uban), cara berjalan tidak lagi cepat (sepertinya perlu bantuan skateboard), jika berbicara kadang-kadang terbata-bata (ini ciri khasnya). Menurut anda, beliau berumur berapa? Yah, saya rasa di awal 60-an tahun.

Bagaimana cara kita mengenal Karni Ilyas lebih jauh? Kalau saya pribadi, saya tidak punya minat untuk mencari di google. Saya mengetahui dan menyukai Pak Karni dikarenakan saya sangat menikmati sebuah program talkshow yang dibawakannya: Indonesia Lawyers Club. Jakarta Lawyers Club, yang sekarang telah berganti nama menjadi Indonesia Lawyers Club adalah talkshow berbau politik dan sosial kemasyarakatan yang selalu menghadirkan  narasumber-narasumber terkait masalah yang dibahas. Saat ini, Indonesia Lawyers Club adalah program TV panjang terfavorit saya. Kenapa saya menyukai program ini? Berikut alasan-alasannya:


1.       This a straight social-politic talkshow...
Maksud saya, coba lihat setting tempatnya. Bukan diadakan di studio, tetapi diadakan di room sebuah hotel; dan di sana terdapat banyak meja bundar yang dihiasi dengan ciri khas hotel tentunya, yang di masing-masing meja terdapat kumpulan audien/undangan yang disuguhkan minuman ringan berwarna putih. Dan ketika kita melihat di televisi, sepertinya acara ini dikhususkan untuk para orang tua atau bapak-bapak saja. Tetapi sesungguhnya acara ini bukanlah acara berat yang butuh pemikiran berat; hanya sedikit lebih berat daripada acara-acara TV pada umumnya, dan butuh sedikit lebih banyak MINAT untuk menontonnya.

2.       This is some form of democracy manifestation...
Indonesia Lawyers Club adalah sebuah debat terbuka. Di sini terdapat per-adu-an argument dan pengungkapan sindiran-sindiran tajam terhadap lawan bicara, bahkan tuduhan langsung pun dapat di unggkapkan. Di luar itu semua, acara ini dirancang untuk memberikan kesempatan bagi masing-masing narasumber untuk mengungkapkan keterangannya secara bergantian maupun cross-over (ber-silang pendapat). Dan sebagai host, Karni Ilyas mampu memimpin secara demokratis.

3.       Acara ini sering mengundang Ruhut Sitompul,
dan orang-orang unik lainnya. Maksud saya, anda tidak akan bosan. Jika bosan, silakan tonton sinetron di televisi sebelah, atau bayangkan saja sebuah lampu disko bundar muncul di tengah-tengah para tamu undangan sehingga mereka berjoget ria, sehingga acara ini dinamakan Indonesia Lawyers Clubbing.


Baik, kemarin, Selasa 27 Maret 2012, Indonesia Lawyers Club absen tayang. Setelah saya berpindah channel ke RCTI, dalam The Panasonic Award ke-15 Indonesia Lawyers Club masuk dalam nominasi Program Talkshow Berita dan Informasi Terfavorit. Sayangnya, nominasi ini dimenangkan oleh acara lain. Tetapi tidak apa-apa, karena prestasi tidak melulu ditentukan oleh banyaknya apresiasi.

Lalu bagaimana dengan Karni Ilyas? Ternyata saya jadi tahu lebih banyak tentang beliau. Beliau sedang tersenyum lebar di sebuah kursi bersebelahan dengan sang istri dan seorang politisi. Saya rasa ini menjadi simbol bahwa beliau tidak dapat memisahkan antar pekerjaan dan keluarga karena keduanya adalah hal penting bagi beliau. Ini masuk akal karena dalam The Panasonic Award kemarin, Karni Ilyas mendapatkan Lifetime Achivement Award!

Sukarni Ilyas telah berkarya di jurnalistik sejak umur belasan. Beliau pernah berada di redaksi koran dan majalah, serta di belakang layar di beberapa TV swasta sebelum TVOne.

CONGRATULATION. A natural born journalist seperti anda sangat pantas mendapatkan penghargaan tersebut, Pak Karni. Seharusnya anda goes pop sejak lama, Mr. Karni. Tapi tidak, mungkin karena anda adalah a real journalist. Atau memang inilah saatnya?

Rabu, 14 Maret 2012

SAYA BARU SAJA MEMBUAT FILM!


Beberapa hari yang lalu saya berhasil menciptakan sebuah film. Yah…secara teknis, saya memang sutradaranya. Pengarang ceritanya juga saya. Namun saya belum yakin ada yang mau memproduserinya.
Tetapi, terlebih dahulu, ada satu informasi aneh yang harus saya beritahu, dan saya harap, anda bisa mempercayai saya.
Ya, saya benar-benar membuat sebuah film. SAYA MEMBUAT FILM DI DALAM MIMPI SAYA.
Yes, this is real. And that was real, ketika pada malam itu saya tertidur pada sekitar jam 10.30, dan kemudian terbangun pada sekitar 12.30 dini hari, saya secara tak sengaja (atau mungkin disengaja –saya kurang tahu pasti-) memimpikan sebuah skenario film yang bergulir terus pada saat saya tidur selama sekitar 2 jam tersebut! Saya tidak tahu ini apa. Saya belum pernah memimpikan sebuah film sebelumnya.
                                         
TENTU SAJA saya pernah bermimpi hal lain sebelumnya. Dan seperti yang kita ketahui, mimpi pun mempunyai seting tempat, tokoh-tokoh, jangka waktu, bahkan dialog, yang seperti sebuah film punyai. Tetapi itu bukan film. Mimpi saya kali ini, saya benar-benar tahu bahwa ini adalah sebuah film…
Memang tidak ada dialog detail ataupun urutan scene yang terarah, dan seperti biasa, kita pasti tidak bisa mengingat mimpi kita secara 100%, bukan? Tetapi saya akan mencoba mengingat dan membuatkan rancangannya…….ataupun sinopsisnya (saya tak mungkin merancang naskah film secara detail di blog ini, kan). So, check it out.

JUDUL : "Sang Penjual Buku"
>> Dari judulnya sudah jelas bahwa ini kisah tentang seorang penjual buku. Awalnya saya mau memberi judul “Martir” atau “Martyrs” dalam bahasa Inggris -karena film ini mengusung isu tentang bunuh diri yang berlandaskan agama-, namun saya enggan meniru judul horor Prancis yang berjudul sama.

JENIS : Psychology Thriller
>> Triller psikologis adalah genre yang jarang ada di perfilman Indonesia. Tidak ada horor di film saya ini. Yang ada hanyalah percakapan. Dengan setting di dua atau tiga tempat, film ini sudah dapat di buat. Dalam mimpi saya, film ini ber-setting utama di sebuah mesjid. Bisa jadi ada tambahan tempat dengan beberapa flashback scene ditambah opening dan closing scene. Dalam pikiran saya, film ini bernuansa tenang dan redup, seperti yang dibawakan oleh Hanung Bramantyo dalam "Ayat-Ayat Cinta" (2008) dan "Doa Yang Mengancam" (2008). Tapi tolong hilangkan muka Aming dari pikiran anda.

SINOPSIS SINGKAT : Seorang pria (saya belum memperkirakan namanya siapa) dan anak laki-lakinya (kemungkinan bernama Nurdin) berkunjung ke sebuah mesjid bermaksud untuk menjual buku-buku religi kepada orang-orang di mesjid. Sebagai muslim yang baik, mereka melakukan kewajiban agamanya terlebih dahulu di mesjid tersebut. Setelah itu baru mereka mulai menjual buku dan menjalankan rencana mereka.
>> Memang simpel. Pemeran utamanya hanya 2 orang ditambah beberapa pemeran pembantu.

PLOT : Pertama, sang pria dan sang anak akan beribadah dengan khusyuk , kemudian sang pria akan banyak berdebat dengan orang-orang di mesjid, baik mengenai penafsiran agama, sosiologi, politik. Beberapa orang akan mulai curiga terhadap mereka berdua. Dalam keadaan terdesak, pria tersebut menjadi temperamental, keadaan mulai sedikit kacau, dan ia mulai berpikir keras untuk menjalankan rencana mereka untuk meledakkan mesjid tersebut. 
>>  Plot di atas tidak bertema terorisme. Ini hanya percakapan beberapa orang di mesjid. Akan ada persinggungan kepentingan dengan sang anak. Dan akan ada dialog keren seperti ini: "INGAT! Saya tidak perlu kau untuk membeli bukuku. Saya tidak perlu uangmu! I'm not that kind of moslem!"

PEMERAN UTAMA : Anang Hermansyah memerankan sang ayah dan "Si Entong" memerankan sang anak.
>> Lukman Sardi sudah pernah menjadi Kyai, jadi sekarang dia tidak mungkin memerankan teroris. Pria berwajah standar lainnya, Reza Rahardian, sudah terlalu sering tampil, jadi saya bosan. Anang Hermansyah, hmm saya tahu dia seorang penyanyi, tapi saya tak dapat menemukan pria berwajah standar lainnya yang cukup akrab di mata masyarakat; kalau dia bersedia berhenti menyanyi dan bersedia belajar acting bersama saya (sang maestro), saya rasa dia mampu. Pemeran "Si Entong" (saya tidak tau nama aslinya; bahkan saya tidak peduli) mempunyai wajah ordinary teenager sekali, jadi dia cocok.

KESIMPULAN : This could be fun. Naskahnya harus digarap dengan sangat serius karena isu agamanya sangat kental. Sekali lagi, ini tidak bertema terrorism (karena sudah sangat membosankan). Jadi, trailernya harus berisi potongan-potongan dialog yang bagus saja. 
>> Saya rasa Hanung pun pasti akan terkesima.


Sampai jumpa di film saya selanjutnya.

Jumat, 02 Maret 2012

27 Feb 2012

27 Februari 2012 yang lalu, saya dan pacar saya pergi untuk menonton film di bioskop. “THE GREY”, itu judul filmnya. Satu-satunya alasan saya ingin menonton film ini adalah: Liam Neeson, sang aktor utama. Saya suka suaranya. Really. Dalam, intimidating, dan cocok jika mengisi suara dewa/tuhan. Selain itu, walaupun termasuk “telat merekah”, Liam Neeson jarang bermain dalam film jelek, menurut saya. Oleh karena itu, saya pikir, tak masalah jika saat ini saya pilih film ini sebagai tontonan (pacar saya, dia saya larang untuk protes...).

Oke, kami tonton, tonton dan tonton. Adegan awalnya bagus; mencoba untuk puitis dan sedikit romantis. Yang pualing saya suka adalah Adegan Kecelakaan Pesawat. Sangat bagus kalau menurut saya. Adegan yang tidak lama ini terasa rill, berbeda, punya gaya oke, SALUT. Terus cerita bergulir, bergulir dan bergulir, lalu “kenapa dialognya terasa aneh?” pikir saya. Nah, menurut saya dialog di “The Grey” (secara keseluruhan) masih terasa klise, bisa dikatakan cenderung membosankan. Gambarnya atau scene-scenenya sendiri bisa dikatakan bagus karena menangkap gambar yang memang “grey”;dari salju, hutan, serigala, bahkan kita mendapat kesan bahwa kematian itu sendiri adalah berwarna grey atau abu-abu. Yang paling merusak suasana adalah munculnya gambar mantan kekasih si tokoh utama yang selalu berbisik “don’t be afraid…” BERKALI-KALI. Entah apa maksudnya...

Well, ternyata, di kredit akhir saya jadi tahu bahwa sutradara film ini adalah JOE CARNAHAN, yang setahu saya adalah spesialis action kasar; dan lagi, Liam Neeson dan Joe Carnahan pernah berkolaborasi secara baik di “A-Team (2010)” kemarin. Maka sebagai film uji coba, “The Grey” saya rasa termasuk bagus walaupun dialognya masih perlu dibenahi.

Hmm…jadi apakah dialog merupakan pemegang peran terpenting dalam sebuah film?? Tanyakan itu pada film “The Artist”. “The Artist” menang banyak di Academy Award dan Golden Globe. Salut, karena berdekade-dekade ke belakang, baru film ini lah yang berani merayakan awal mula kemunculan dan kesuksesan sinema awal (yang adalah bisu dan hitam-putih).

Masih di bioskop yang kami kunjungi, saya melihat poster “The Artist” dipajang di situ, lengkap dengan tulisan “academy award winner” dan “golden globe winner” di bagian atasnya. Di bagian bawahnya ada lagi tulisan, seperti ini: FILM INI HITAM PUTIH DAN TAK BERDIALOG. Tulisan ini menjadi warning bagi para calon penonton yang belum tahu tentang “The Artist” agar tak menyesal nanti ketika menonton. Kalau menurut saya, tulisan peringatan seperti ini tidak perlu dipajang; biarlah ini menjadi resiko bagi yang membeli tiket. Lagipula gambar poster “The Artist” sudah cukup hitam-putih dan membosankan sehingga para penonton “NENEK GOMBEL GOYANG KARAWANG” pun tak akan rela menonton jenis film seperti ini.

Saran saya sih, taruh saja tulisan begini: FILM INI TERLALU MEMBOSANKAN BAGI ANDA YANG DODOL. Pasti para pengikut ‘nenek gombel’ akan penasaran lalu membeli tiketnya. Setelah menontonnya, mereka lalu mual, pusing, muntah-muntah, dan berkata, “MENDING NENEK GOMBEL JUGA DAAHHH…”